Breaking News

Merasa Cemas Berlebihan hingga Tertekan? Mungkin Anda Mengalami seperti Kata Psikolog Ini

 
Ilustrasi.

PSIKOLOGIPEDIA.COM - Setiap orang mungkin sulit melepas emosi negatif, kecemasan, kemarahan hingga berujung depresi.

Mungkin ada teman Anda, sahabat, anggota keluarga atau bahkan pasangan Anda sering menggerutu, mengaku merasakan kecemasan, kekhawatiran, kemarahan akan sesuatu sampai berujung tekanan batin yang berat mengarah ke depresi.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi?

Kadang nasihat kita soal hidup harus optimis, keyakinan diri bahwa apa yang terjadi selanjutnya akan baik-baik saja, bisa sedikit menetralisir.

Atau mengajak orang tersebut untuk selalu tersenyum, mencoba mensyukuri dari hal yang paling kecil, seperti masih bisa bernafas, segarnya udara pagi, keluarga baik-baik saja, sehat dan sebagainya.

Namun hal ini belum bisa menjadi solusi karena ada hal yang lebih mendasar yang diungkap oleh psikolog, Jumat (9/2/2018).

Seorang psikolog terkemuka Amerika, Albert Ellis (1955) ada sebuah hal yang disebut sebagai Pola Keyakinan (Belief) seseorang yang mengarahkan pada emosi negatif seperti kecemasan, kemarahan yang berlebihan dan depresi.

Seperti disampaikan oleh Mellissa Grace MPsi Psikolog melalui akun Instagram miliknya, Albert Ellis menyampaikan kalau ada tiga tema dasar dari kondisi yang disebut sebagai irrational beliefs (keyakinan yang tidak rasional).

Keyakinan ini membawa konsekuensi negatif baik berupa perasaan, pikiran maupun tingkah laku seperti berikut.

Pertama yakni terkait harapan yang tak rasional pada diri sendiri bahwa diri sendiri harus dalam kondisi apapun tanpa terkecuali memiliki perilaku standar perilaku yang luar biasa baik, sempurna di segala situasi.

Ketika tak berhasil mencapai hal ini maka muncul perasaan yang kecewa terhadap diri sendiri dan merasa gagal.

Poin kedua yakni mengharapkan orang lain untuk selalu berperilaku baik, adil, sempurna di segala situasi tanpa terkecuali.

Saat orang lain tak bisa memenuhi harapan tersebut maka orang tersebut akan dicap sebagai orang yang bermasalah atau bukan orang yang baik, dan sebagainya.

Ketiga yakni harapan irasional untuk selalu mendapatkan apa yang diri inginkan.

Kapanpun menginginkannya harus terealisasi.

Bila hal tersebut tak tercapai dianggap sebagai sebuah tragedi.


Yang terpenting bukanlah apa yang terjadi pada dirimu..., . tetapi bagaimana Kamu memaknai-nya.... . . Postingan ini lebih ditujukan untuk #SelfReflection dan bukan untuk semakin mencari-cari kekeliruan / men-cap atau me-label / menghakimi orang lain. . . . In some stages...., . conscious or unconscious...., . We might have that "experience".... . . . The more we understand about ourselves..., the more we can Love ourselves and accept us for the way we are and other people as #HumanBeings........💝 . . . Having compassion to Yourself......, . Having compassion to other people.......💝 . . . . Love More 💝💝💝 . . . . 👤 @Mellissa_Grace . . . #Psikolog #PsikologKlinis #MellissaGrace #MG #SelfHealing #REBT #AlbertEllis #SehatMental #MentalHealth #Psikoterapi #Psychotherapy #REBTMG #IrrationalBeliefs
A post shared by Mellissa Grace, Psikolog (@mellissa_grace) on

Solusi

Mengatasi hal ini tentu perlu bantuan orang lain, mendapat dukungan dari teman atau keluarga yang berikan pemahaman bahwa diri tak bisa mengontrol semua hal di luar kita.

Bahkan apa yang diinginkan sendiri saja belum tentu bisa dicapai apalagi sikap atau perilaku orang lain yang kita harapkan sesuai dengan keinginan kita.

Penerimaan diri, rasa syukur dan meyakini bahwa semua tetap baik adanya meski tak sesuai dengan keinginan kita.

Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa tak setiap keinginan bisa terpenuhi, meski demikian kita tetap bisa bahagia. (Psikologipedia.com)

Tidak ada komentar